Mengenal “Pajak Karbon” sebagai Upaya Mitigasi Perubahan Iklim dan Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan di Indonesia
Pembahasan tentang keberlanjutan dan perubahan iklim hari ini tidak pernah habis untuk dibahas. Menjadi menarikkarena isu tersebut akhir-akhir ini memang sedang menjadi sebuah concern di kalangan masyarakat. Merupakansebuah isu global yang penting yang diangkat dalam Presidensi G20 dan menjadi permasalahan strategis di banyaknegara-negara di dunia. Dampak dari perubahan iklim tidak hanya dirasakan oleh satu atau dua negara, tetapi seluruh penjuru dunia. Ancaman perubahan iklim ini sejalan seiring dengan pembangunan sebuah negara. Semakin maju sebuah negara dengan tingginya mobilitas dan penggunaan energi, maka emisi karbon yang dihasilkan juga semakin tinggi. Alhasil, perubahan iklim bukanlah sebuah lelucon belaka dan dampak katastropik akibat kenaikansuhu permukaan bumi yang tidak bisa terhindarkan.
Dewasa ini, keuntungan bukan menjadi satu-satunya hal yang harus diperhatikan oleh organisasi atau perusahaan. Tuntutan akan kelestarian dan keseimbangan baik lingkungan maupun sosial juga perlu diperhatikan. Apabila kinerjakeuangan berjalan dengan baik dan mampu memenuhi kinerja lingkungan dan sosial serta berkontribusi nyata mengatasi berbagai permasalahan tersebut, di masa mendatang akan menjadi perusahaan yang bertahan (Nofianto dan Agustina, 2014).
Implementasi Pajak Karbon Sebagai Upaya Mitigasi Perubahan Iklim
Dalam RPJMN 2020-2024 isu perubahan iklim menjadi Prioritas Nasional dan mendapatkan prioritas pendanaan melalui mekanisme APBN. Namun, dalam APBN tidak disebutkan secara spesifik nilai pendanaan untuk adaptasi perubahan iklim. Dalam mencapai target komitmen nasional dalam penanganan perubahan iklim, Indonesia menerapkan instrumen Nilai Ekonomi Karbon (NEK) atau Carbon Pricing. Dalam NEK, terdiri dari instrumen perdagangan dan non-perdagangan. Instrumen perdagangan mengandung perpindahan hak atas aktivitas emisi karbon yang terdiri atas dua jenis, yaitu perdagangan ijin emisi bagi entitas yang mengemisi lebih banyak membeli izin emisi dari entitas yang meng-emisi lebih sedikit dan offset emisi bagi entitas yang melakukan aktivitas penurunan emisi dapat menjual marjin emisi karbonnya kepada entitas yang membutuhkan marjin emisi tersebut. Hal ini tentu akan menggerakkan pasar karbon sebagai sektor perekonomian yang potensial dan bentuk partisipasi industri dalam mengurangi emisi karbon. Adapun instrumen non-perdagangan tidak mengandung perpindahan hak atas aktivitas emisi karbon yang terdiri dari dua jenis, yaitu pajak karbon sebagai pungutan atas aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dan result-based payment, yaitu pembayaran atau insentif yang diberikan atas hasil penurunan emisi karbon.
Pajak Karbon merupakan salah satu instrumen non perdagangan dalam NEK yang telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan NEK. Penerimaan dari pajak karbon dalam postur APBN dapat digunakan untuk dana pembangunan, adaptasi dan mitigasiperubahan iklim, mendukung investasi teknologi yang ramah lingkungan, serta dukungan kepada masyarakatberpenghasilan rendah dalam bentuk bantuan sosial. Dalam hal ini Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Pasal 13menjadi landasan hukum dari pengenaan pajak karbon.
Latar belakang dari pengenaan pajak karbon adalah eksternalitas negatif yang ditimbulkan bagi lingkungan hidup atas aktivitas industri yang menghasilkan karbon. Pengenaan pajak karbon memiliki tiga tujuan penting, yakni: Pertama, eksistensi dari pajak karbon ini diharapkan mengubah perilaku. Pajak karbon yang diterapkan dengan tarif per ton emisi karbon diharapkan mengubah perilaku industri untuk mengubah proses produksi, teknologi, atau menggunakan sumber daya energi yang lebih hijau dan terbarukan. Kedua, pajak karbon mendukung penurunan emisi GRK (Green House Gas) dalam jangka menengah dan panjang. Ketiga, mendukung perkembangan perdagangan emisi karbon dan mendorong inovasi serta investasi teknologi yang efisien dan ramah lingkungan. Mekanisme pasar karbon seperti cap & trade merupakan sistem perdagangan izin emisi karbon bagi industri yang menghasilkan emisi lebih sedikit akan memperdagangkan marjin emisi tersebut ke industri yang menghasilkan emisi lebih banyak. Sistem semacam ini akan mendorong industri untuk berinovasi untuk membangun proses produksi yang menghasilkan emisi paling efisien dan teknologi yang ramah lingkungan. Selain itu, wajib pajak yang berpartisipasi dalam perdagangan emisi karbon dapat diberikan insentif berupa pengurangan pajak karbon.
Pemberlakuan pajak karbon menggunakan skema cap & tax pada badan yang bergerak di bidang PLTU batubara. Prinsip pengenaan pajak karbon adalah keadilan dengan berdasar pada polluters-pay-principle, memperhatikan aspek keterjangkauan nilai pajak demi kepentingan masyarakat, dan dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan kesiapan sektor terkait agar tidak memberatkan perekonomian nasional. Apabila kuantitas emisi karbon yang dihasilkan satu ton, maka total pajak karbon yang terutang minimal Rp30.000,00 atau sekitar US$2,10 per ton. Saat terutang pajak karbon ini adalah pada akhir periode tahun kalender dari aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu. Untuk mekanisme pengenaan pajak, wajib pajak yang berpartisipasi dalam perdagangan emisi karbon dapat memanfaatkan sertifikat karbon yang dibeli di pasar karbon sebagai pengurang atas kewajiban pajak karbon.
Perhitungan Pajak Karbon
Perhitungan tarif pajak karbon akan disesuaikan dengan mekanisme perdagangan karbon. Berikut skema mekanisme perdagangan karbon di Indonesia. Entitas yang meng-emisi lebih dari cap yang ditentukan, diharuskan membeli ijin emisi (SIE) dari entitas yang meng-emisi dibawah cap atau membeli sertifikat penurunan emisi (SPE/offset karbon) yang nantinya juga dapat dijadikan sebagai pengurang pajak.
Sebagai contoh sebuah unit pembangkit (A) yang tidak berpartisipasi dalam perdagangan emisi karbon maupun pengimbangan emisi karbon
1. Unit Pembangkit A
Kapasitas pembangkit : 800MW
Batas atas emisi : 0,918 tCO2/Mwh
Produksi listrik bruto : 6.100.000 MWh
Total Emisi GRK : 5.800.000 tCO2
Batas atas emisi untuk A : 0,918 x 6.100.000 = 5.599.800 tCO2
Unit pembangkit A tidak berpartisipasi dalam perdagangan emisi karbon maupun pengimbangan emisi karbon
Maka perhitungan Pajak Karbon:
DPP = Total Emisi GRK – batas atas emisi
(Dasar Pengenaan Pajak) = 5.800.000 tCO2 – 5.599.800 tCO2 = 200.200 tCO2
Pajak terutang= DPP x tarif pajak = 200.200 tCO2 x Rp 30.000/tCO2= Rp 6.006.000.000 Pengurangan= Rp 0
Bayar pajak karbon = Pajak terutang – pengurangan = Rp 6.006.000.000 - Rp 0 = Rp 6.006.000.000
(asumsi tidak diberikan pengurangan pajak karbon terutang).
Lebih lanjut, dicontohkan sebuah unit pembangkit (B) yang berpartisipasi dalam perdagangan emisi karbon maupun pengimbangan emisi karbon
2. Unit Pembangkit B
Kapasitas pembangkit : 800MW
Batas atas emisi : 0,918 tCO2/Mwh
Produksi listrik bruto : 6.100.000 MWh
Total Emisi GRK : 5.800.000 tCO2
Batas atas emisi untuk B : 0,918 x 6.100.000 = 5.599.800 tCO2
Unit pembangkit B mendapatkan SIE/SPE sebanyak 200.200 tCO2 untuk diajukan sebagai pengurang pajak karbon
Perhitungan Pajak Karbon
DPP = Total Emisi GRK – batas atas emisi
(Dasar Pengenaan Pajak)= 5.800.000 tCO2 – 5.599.800 tCO2 = 200.200 tCO2
Pajak terutang = DPP x tarif pajak = 200.200 tCO2 x Rp 30.000/tCO2= Rp 6.006.000.000 Pengurangan = 200.200 tCO2 x Rp 30.000= Rp 6.006.000.000
Bayar pajak karbon = Pajak terutang – pengurangan = Rp 6.006.000.000 - Rp 6.006.000.000= Rp 0
(asumsi diberikan pengurangan pajak karbon terutang dengan seluruh SIE/SPE yang diajukan)
Hal ini juga dapat diterapkan untuk skema penggurangan pajak karbon melalui partisipasi parsial di perdagangan karbon, sehingga pajak karbon yang diterapkan akan berlaku secara proporsional.
Penutup
Eksistensi pajak karbon dan upaya menggerakkan perekonomian pada pasar karbon menjadi bukti nyata keseriusan Indonesia dalam menurunkan tingkat emisi dan dampak perubahan iklim. Sebagai negara yang akan memulai pemajakan pada sektor yang baru melalui kebijakan fiskal yang countercyclical sejak 2020 menunjukkan keberpihakan pengelolaan APBN yang nyata untuk membantu masyarakat dan dunia usaha. Harapannya dengan adanya pajak karbon ini di satu sisi tidak hanya menambah penerimaan perpajakan, tetapi juga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia melalui kualitas udara yang baik dan ketersediaan dana pemerintah untuk mendanai pembangunan dan pelayanan kesehatan.